Sabtu, 19 Februari 2011

APA DAN BAGAIMANA NU

SEJARAH KELAHIRAN NU

A. Pesantren Cikal Bakal NU

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang tertua di tanah air. Lazimnya di dalam pesantren, seorang ulama dikelilingi oleh beberapa santri yanhg ingin mempelajari agama Islam dan sekaligus menjadi penerus penyebaran Islam, kader perjuangan Islam. Dimana para santri juga dilatah untuk menjadi pelayan masyarakat. Oleh karena itu, pesantren berfungsi sebagai Lembaga Pendidikan Islam, Lembaga Perjuangan Islam, dan Lembaga Pelayanan Masyarakat.

Ketika datang modernisme Islam ke tanah air yang ingin memajukan pendidikan Islam,dengan mengadakan lembaga pendidikan Islam di luar peasantren, sekaligus meniggalkan peantren (karena pesantren dianggap tidak mampu mengejar kemajuan zaman), maka ulama pengasuh pesantren menolak keras hal tersebut. Mereka bertekad, betapapun melaratnya, betapapun lambatnya dan betapapun beratnya pesantran harus tetap dipertahankan. Berbagai kelemahannya harus diperbaiki oleh dan di dalam pesantren, tidak dengan meninggalkannya, karena :

1. Pesantren sudah berhasil mendidik para kader Islam yang menyatu dengan masyarakat.
2. Pesantren sudah menjadi kiblat bagi ummat, menjadi panutan ummat.

Meninggalkan pesantren berarti meninggalkan ummat dengan segala
keterbelakangannya. Apa artinya maju sendiri, sedang ummat tetap tertinggal? Bukankah itu suatu dosa ?

Jauh sebelum modernisme Islam di atas datang, para ulama pengasuh pesantren berdiri sendiri-sendiri, belum ada ikatan formal struktural organisatoris. Hubungan antar para ulama dilangsungkan dengan silaturrahmi tradisional seperti; pertemuan-pertemuan haul, imtihan, walimah dan sebagainya. Bahkan seringkali dipererat dengan besanan. Keiginan untuk mendidrikan organisasi formal struktural bukan tidak ada, tetapi pertumbuhannya masih lambat, dimulai dengan kelompok-kelompok pengajian keliling dengan berbagai nama dan masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Lompatan langkah penting yang dilakukan dalam berorganisasi waktu itu, adalah terwujudnya kelompok diskusi dengan nama Tashwirul Afkar di Surabaya, yang dipelopori oleh KH> Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur. Walaupun akhirnya dua pendiri kelompok diskusi tersebut berpencar, Kyai Mansur masuk ”Muhammadiyah” dan Kyai Wahab Mendirikan ”Nahdlatul Ulama”

Sesungguhnya yang menjadi pemicu berdirinya NU adalah tindakan penguasa baru Arab Saudi yang berpaham Wahabi yang telah berlebioh-lebihan dalam menerapkan pemurnian ajaran Islam, anta lain dengan :

a. Menggusur bebrapa petilasan sejarah Islam, seperti makam beberapa Pahlawan Islam, dengan dalih mencegah kultus individu.
b. Melarang Peringatan Maulid Nabi, Bacaan Barzanji. Diba’ dan sebagainya yang dianggap termasuk kultus individu.
c. Selalu menghalangi jalan bagi madzhab-madzhabselain madzhab Wahabi, terutama madzhab empat
d. Ada keinginan untuk menmpatkan diri sebagai penerus khilafah tunggal dunia Islam, antara lain dengan mengundang negara/jama’ah Islam dari seluruh dunia (termasuk Indonesia) untuk menghadiri muktamar khilafah di Arab Saudi yang ternyata gagal dilaksanakan.

Para Ulama Indonesia (terutama pengasuh pesantren, para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah) menolak keras tindakan penguasa baru Arab Saudi itu. Para Ulama Pesantren bermaksud ikut dalam delegasi ulama Islam Indonesia yang akan hadir pada muktamar khilafah tersebut, mencara kesempatan untuk menyampaikan keberatan/penolakan ulama pesantren yang mewakili mayoritas ummat Islam Indonesia kepada penguasa baru Arab Saudi. Tetapi maksud tersebut terhalang karena ditolak oleh beberapa kelompok Islam yang lain denan alasan ulama pesantren belum/tidak punya organisasi seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam dan sebagainya.

Penolakan yang dilatar belakangi dengan belum adanya organisasi ulama ini, telah mengobarkan semangat para ulama pesantren untuk menunjukkan kemandirian dan kekuatannya dengan mengirim sendiri Delegasi Ulama Pesantren dengan nama Komite Hijaz untuk menghadap sendiri kepada penguasa barus Arab Saudi, sekaligus menyampaikan keberatan para ulama Indonesia.

Ternyata Komite Hijaz tersebut berhasil mengumpulkan dana dan daya untuk mengirim sendiri delegasi ke Arab Saudi tanpa terkait dengan delegasi Immat Islam Indonesia yang ternyata gagal bermuktamar di Arab Saudi, karena muktamarnya sendiri tidak jadi dilangsungkan. Ketika Delegasi Komite Hijazakan berangkat maka disepakati Komite Hijaz itu dijadikan organisasi (jam’iyyah) permanen dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU) yang berarti kebangkitan para ulama. Hal itu untuk menunjukkan bahwa para ulama yang selama ini dianggap kolot, tradisional, terbelakang dan sebagainya, ini telah bangkit, tidak hanya berkumpul, berhimpun, tetapi bangkit, bangun berdiri dan melangkah.

Nahdlatul Ulama didirikan sebagai jam’iyah diniyah ijtima’iyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan). Jam’iyah ini dibentuk untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para penikutnya. Kata ulama dalam rangkaian Nahdlatul Ulama bukan berarti UN hanya beranggotakan ulama., tetapi maksudnya para ulama mempunyai kedudukan istimewa di dalam NU, karena para ulama adalah pewaris dan mata rantai penyalur ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, Sebagai organisasi keagamaan, kedudukan pewaris ini mutlak penting adanya. Tentu kwalitas keulamaan di dalam UN harus lebih terseleksi dari pada yang lain. Ada kreteria dan persyaratan tertentu yang ketat untuk menjadi ulama UN. Ulama NU harus memeiliki syarat keilmuan, sikap mental, perilaku dan akhlaq, sehingga patut menjadi panutan ummat dan tidak manutan kepada pihak lain. Kualitas NU sangat bergantung kepada kualitas ulamanya.

Setelah ulama pesantren membentuk jam’iyah Nahdlatul Ulama , maka semestinya, segala kegiatan mereka disalurkan melalui jalur Nahdlatul Ulama. Tetapi dalam kenyataannya, yang terjadi adalah :

a. Ulama pesantren masih memiliki dan berpegang kepada kemandirian masing-masing, terutama dalam mengelola basis sosialnya (para santri dan keluarga serta para murid dari santri). Campur tangan atau koordinasi yang dapat dilakukan oleh NU masih sangat kecil.
b. Uniknya basis sosial para ulama tersebut sangat fanatik kepada NU, sanggup berjuang membela mati-maian ajaran NU, seperti tahlil, talqin dan sebagainya.
c. Hampir 100 % alumni pesantren menjadi warga NU, meskipun tidak ada pesantren yang menggunakan nama NU dan tidak diberikan pelajaran tentang ke-NU-an. Sepertinya mereka jadi NU secara alamiah maka jangan heran, kalau NU-nya juga selalu alamih.

Dengan demikian Nahdlatul Ulama mempunyai dua wajah :

1. Wajah jam’iyah (NU Jam’iyah). Yaitu sebagai organisasi formal struktural yang mengikuti mekanisme organisasi modern seperti; ada kepengurusan, ada pengesahan pengurus, ada pemilihan penurus, ada anggota, ada iuran, ada rapat-rapat resmi, ada keputusan-keputusan resmi dan lain sebagainya.
2. Wajah Jama’ah (NU Jama’ah). Yaitu kelompok ideologi kultural yang mempunyai pandangan, wawasan keagamaan dan budaya ala NU. Bahkan mereka tidak mau dikatakan bukan orang NU. Mereka tersebar dalam berbagai kelompok kegiatan, seperti jama’ah yasinan, tahlilan, wali murid madrasah NU, jama’ah musholla NU dan sebagainya. Anehnya, mereka tidak mudah diatur sebagai jam’iyah anggota NU.

Kedua macam kelompok tersebut, merupakan potensi Nahdlatul Ulama. Kedua-duanya harus diurus dengan cara yang sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya. Idealnya ialah :
a. Jam’iyah Nahdlatul Ulama menjadi organisasi kader dengan :
1. Tertib administrasi dan organisasi yang mantap, mulai dari pendaftaran anggota, mutasinya, proses pembentukan pengururs dan sebagainya.
2. Pembinaan ideologi dan wawasan yang mumpuni.
3. Disiplin operasional dan langkah-langkah perjuangannya.
b. Sedangkan Jama’ah NU , menjadi pendukung massal bagi gagasan-gagasan, sikap-sikap, langkah-langkah amaliyah NU dan sebagainya, meskipun tidak terdaftar warga jam’iyah NU.

B. Beberapa Posisi dan Fungsi NU

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang didirikan oleh para ulama pengasuh pesantren dengan sekian banyaknya dan sekian luas pengaruhnya, tentu dimaksudkan untuk menempatkan posisi dan fungsi ulama sedemikian penting di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara, khususnya di NU. Sehingga posisi dan fungĂ­s Ulama tidak hanya seperti dalam kumpulan arisan atau kelompok pengajian saja.

Dalam rumusan khittah NU, posisi dan fungsi ulama itu dijelaskan sebagai berikut:

a. Dalam Agama, sebagaimana pada alinea kedua dari butir mukaddimah khittah NU disebutkan:
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyah adalah wadah bagi para ulama dan pengikut-pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M, dengan tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat. Masing-masing; Imam Abu Hanifah An Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal, serta untuk mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martanat manusia.
b. Dalam Organisasi, sebagaimana disebutkan pada alinea pertama dari butir fungsi organisasi dan kepemimpinan ulama (butir 7 khittah NU) :
Dalam rangka melaksanakan ikhtiar Nahdlatul Ulama membentuk organisasi yang mempunyai struktur tertentu yang berfungsi sebagai alat untuk melakukan koordinasi bagi tercapainya tujuan yang telah ditentukan, baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan. Karena pada dasarnya Nahdlatul Ulama adalah jam’yyah diniyah yang membawakan faham keagamaan, maka ulama sebagai mata rantai pembawa fatwa keagamaan Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi. Untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan, Nahdlatul Ulama menempatkan tenaga yang sesuai dengan bidangnya untuk menanganinya.
c. Dalam Kehidupan Berbangsa, sebagaimana disebutkan pada alinea 1, 2, 3, 4 dan 5 butir NU dan Kehidupan Berbangsa (butir 8 Khittah NU) :
Sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan nasional bangsa Indonesia. NU secara sadar mengambil posisi yang aktif dalam proses perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan serta ikut aktif dalam penyusunan dan perumusan Pancasila sebagai dasar negara.
Keberadaan NU yang senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa, menempatkan NU dan segenap warganya untuk senantiasa aktif mengambil nagian dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur yang diridloi oleh Allah SWT. Karenanya setiap warga NU harus menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai organisasi keagamaan, NU merupakan bagian tak terpisahkan dari ummat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan ( Al Ukhuwah) dan toleransi (at Tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama ummat Islam maupun dengan sesama warga negara yang mempunyai keyakinan/agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.
Sebagai organisasi yang mempunyai tugas pendidikan, NU senantiasa berusaha secara sadar untuk menciptakan warga negara yang menyadari (akan) hak dan kewajibannya tergadap bangsa dan negara. Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organissi politik dan orgasnisasi kemasyarakatan apapun juga. Setiap warga NU adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politiknya, harus dilakukan secara bertanggung jawab, sehingga dengan demikian, dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum. Dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam memecahkan permaalahan yang dihadapi bersama.

DASAR FAHAM KEAGAMAAN DAN SIKAP KEMASYARAKATAN NU

A. Dasar-Dasar Faham Keagamaan NU

a. Sumber-sumber ajaran Islam diambil dari :
1. Al Qur’an
2. Al Hadits
3. Al Ijma’
4. Al qiyas
b. Menggunakan sistem bermadzhab :
1. Aqidah : Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagaimana dipelopori oleh Imam Asy’ari dan Imam Al Maturidi
2. Fiqih : menganut salah satu madzhab empat; Imam Abu Hanifah, Imam Malik Imam Syafi’i dan Imam Hambali
3. Tashawwuf : Mengikuti Imam Al Junaidi, Imam Al Ghazali dan lain-lain.

B. Sikap Kemasyarakatan NU

a. Tawassut dan I’tidal, sikap tengah dan tegak lurus, berintikan keadilan dan tidak ekstrim
b. Tasamuh, toleran dalam perbedaan pendapat, baik dalam keagamaan (furu’) maupun dalam kemasyarakatan.
c. Tawazun, keseimbangan dalam berkhidmat kepada Allah SWT, kepada sesama manusia dan lingkungan serta menyelaraskan masa lalu, masa kini dan masa depan.
d. Amar Ma’ruf Nahi Munkar, memiliki kepekaan mendukung perbuatan baik dan mencegah hal yang dapat merendahkan nilai kehidupan.
Perpaduan antara sikap-sikap tersebut menjadikan NU teguh dalam pendirian, luwes dalam penampilan.

C. Perilaku Yang diharapkan

Sesungguhnya banyak perilaku baik dan diharapkan pada kaum Nahdliyyin, sebagaimana termaktub dalam Akhlaq al karimah. Tetapi dalm rumusan khittah NU butir 5, hanya dikemukakan 11 perilaku. Kalau yang ini saja sudah terwujud, maka insya Allah sudah sangat hebat :

a. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupuin norma-norma ajaran Islam.
b. Mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi.
c. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dalam berkhitmat dan berjuang.
d. Menjunjung tinggi persaudaraan (Al-Ukhuwah), persatuan (Al-Ittihad) serta kasih sayang.
e. Meluhurkan kemuliaan moral (Al-Akhlaq al-Karimah) dan menjunjung tinggi kejujuran (As-Shidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertindak
f. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa dan negara.
g. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
h. Menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan ahli-ahlinya.
i. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa manfaat dan kemaslahatan manusia.
j. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu dan mempercepat perkembangan kemasyarakatan.
k. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kalau perilaku-perilaku tersebut dipadukan dengan berbagai perilaku (akhlaq) yang lain, yang juga diajarkan oleh Nahdlatul Ulama, seperti Mabadi’ Khoirul Ummah :

a. As-Shidqu (kejujuran)
b. Al-Wafau Bil Ahdi (Al-Amanah, disiplin).
c. At-Ta’awun (tolong menolong).
d. Al-Adalah (keadilan)
e. Al-Istiqomah (keajegan).

Maka akan lebih sempurnalah perilaku kaum Nahdliyyin, akan meningkatkan koalitas sumber daya manusia Nahdlatul Ulama. Apalagi kalu digabungkan dengan induk-induk akhlaq menurut Imam Ghozali :

a. Al-Hikam (kebijaksanaan)
b. As-Syaja’ah (keberanian).
c. Al-Adalah (keadilan).
d. Al-Iffah ( penjagaan harga diri).

Lebih sempurna lagi, kalau meniru, kalau meniru sifat-sifat Rasul yaitu :

a. As-Shidqu (kejujuran)
b. Al-Amanah (dapat dipercaya).
c. At-Fathonah (kecerdasan).
d. At-Tabligh (penyampaian ajaran secara tuntas, terbuka).

D. Ikhtiar-ikhtiar NU

Sejak semula NU memilih bebrapa bidang sasaran kegiatan utamanya, untuk mewujudkan cita-citanya (strategi/program dasarnya), yaitu :
a. Peningkatan silaturrahmi antar para ulama.
b. Peningkatan kegiatan keilmuan/pendidikan.
c. Peningktan penyiaran Islam (dakwah), pembangunan sarana peribadatan (ubudiyah) dan pelayanan masyarakat (mabarrot)
d. Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat (muamalat, iqtishadiyah, ekonomi).


KHITTAH NU

Khittah artinya garis, khittah nu artinya garis-garis yang sejak semula sudah menjadi pedoman kegiatan para ulam pendiri Nahdlatul Ulama yang kemudian dirumuskan untuk menjadi pedoman NU sterusnya. Muktamar ke 27 di Situbondo tahun 1984, telah berhasil merumuskan secara konkrit, meskipun singkat sekali. Seharusnya, setiap kader NU (terutama penurus dan pimpinannya) mempelajari secara seksama :

a. Fungsi khittah NU: landasan berfikir, bersikap, bertindak warga NU, secara individual, kolektif organisatoris dan dalam proses pengambilan keputusan.
b. Substansi Khittah NU (pedoman baku): Faham Islam Ahlussunnah Wal Jamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia.
c. Penyempurnaan khittah : intisari pelajaran yang didapat dari pengalaman sejarah NU dari masa ke masa.

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN NU

Salah satu tujuan didirikannya NU adalah meningkatkan pendidikan yang selama ini telah di ikhtiarkan melalui pendidikan di pesantren-pesantren. Meskipun banyak pesantren di Indonesia tanpa memakai label NU, namun pada hakekatnya pesantren tersebut adalah lembaga pendidikan milik NU, paling tidak pengasuhnya adalah orang NU.

Pendidikan di Pesantren yang semula hanya memakai sistem sorogan, lambat launberkembang, baik secara metode maupun legalitas formal pendidikan di pesantren. Sehingga di beberapa pesantren tumbuh dan berkembang lembaga-lembaga pendidikan mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK/RA), Sekolah Dasar (SD/MI0, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas (SMU/MA) bahkan sampai Perguruan Tinggi.

Bukan hanya peningkatan lembaga pendidikan secara formal saja di pesantren, juga kualitas pendidik atau tenaga pengajar juga turut dikembangkan. Bahkan tidak jarang orang-orang pesantren (Kyai, Nyai, atau Lora) yang sudah menjadi sarjana bahkan magister. Hal ini merupakan kemajuan bagi keberadaan pesantren yang notabene adalah milik NU.

Secara organisatoris di NU ada lembaga khusus yang menangani masalah pendidikan yaitu Lembaga Pendidikan Ma’arif NU (LP Ma’arif). Banyak Lembaga pendidikan yang bernagung di bawah LP Ma’arif NU. Bahkan di Jember Universitas Islam Jember adalah salah satu lembaga pendidikan milik NU Jember.

PENUTUP

Mempelajari apa dan bagaimana NU, seringkali terpengaruh oleh penglihatan / pengamatan sepotong-sepotong tentang NU, menurut kemampuan yang berbeda-beda. Masing-masing merasa bahwa apa yang di lihatnya itu sebagai hal yang paling penting. Apalagi kalau di bumbui dengan romantisme dan nostalgia (kenangan indah) serta kebanggaan masa lalu.

Cara yang paling baik adalah Nu melalui rumusan resmi Khittah NU (keputusan Muktamar 27), dengan penjelasan resminya (Keputusan Munas/Konbes Lampung 1992) di tambah dengan berbagai dokumen resmi dan pidato-pidato para tokoh Nu yang mu’tabar.

DAFTAR PUSTAKA

Muchit Muzadi, Abdul KH., Apa dan Bagaimana Nahdlatul Ulama, PCNU Jember, 2002
Muchtar, Masyhudi, dkk., Aswaja An Nahdliyah, Khalista; Surabaya 2007
Keputusan Muktamar XXVII Un No,: 02/MNU/-27/1984
Muchit Muzadi, Abdul KH., Khittah Nahdlatul Ulama, Khalista; Surabaya, 2002
Asy’ari, Hasyim KH.; Al Qaanuunul Asasi; Surat Edaran Ra’is Akbar UN, tanpa tahun

1 komentar:

  1. MAKASIH INI SANGAT BER,MANFAAT BAGI SAYA YG KEBETULAN JUGA PENGURUS NU RANTING DESA

    BalasHapus